Dili, 4 April 2014
|
Photo dari sampul Koran Matadalan Semanal |
Beberapa hari yang lalu, saya membuat sebuah tulisan di blog ini mengenai Prabowo -Kopassandhanya dalam pelanggaran HAM berat di Timor-Leste pada tahun 1983. Ada yang “suka” dan “membaginya”, tapi ada juga yang “tidak suka” dengan tulisan itu.
Beberapa diantara mereka yang “tidak suka” bahkan menuduh bahwa saya “dibayar” untuk menulis. “Dapat bayaran berapa ini untuk menjatuhkan nama Prabowo............................... kalian terlalu takut negeri ini dipimpin orang tegas...............sampai hari ini kalian tidak bisa membuktikan secara hukum apakah jendral jendral yg kalian maksud adalah penjahat.krn kalian sedang bersekongkol untuk memecah- lagi Indonesia-menjadi beberapa bagian”.
Tetapi saya sangat mengerti mengapa ada yang”tidak suka”, karena Prabowo dan Jenderal ABRI lainnya sangat pintar untuk mengelabui orang banyak agar rakyat percaya bahwa mereka adalah para pemimpin yang berjiwa besar dan hebat.
Banyak orang berpikir “mustahil Prabowo membunuh orang dengan kejam seperti itu, dia orangnya sangat baik hatinya, memiliki sifat kebapaan dan tegas, yang benar adalah benar, dan yang salah tetaplah salah”.
Tulisan saya kali ini, ingin mengulas lagi bukti lain dari keterlibatan Prabowo dalam kasus kejahatan perang lainnya di Timor-Leste dulu.
Pada satu pagi hari, seperti biasa aku pergi ke kantorku, setelah mengantar anakku ke sekolahnya yang kebetulan berada persis di depan kantorku, mataku tertuju pada Matadalan Semanal, sebuah koran minguan lokal berbahasa Tetum diatas meja kerja temanku.
Ternyata itu koran lama, dipublikasikan pada minggu kedua bulan November 2013, namun ada satu Headlinenya yang sangat menarik perhatianku, “Aku Bukan Gubernur untuk Militer”, aku membacanya dan ternyata itu adalah hasil wawancara wartawan koran Matadalan Semanal dengan Ir. Mario Viegas Carrascalao yang mengupas bagaimana pembantaian oleh militer Indonesia di Dili yang terkenal dengan nama “Masacre Santa Cruz” itu terjadi.
Mario Viegas Carrascalao adalah Gubernur Timor-Timur pada saat kejadian 12 November 1991 di Santa Cruz, beliau juga pernah menjadi Dubes Republik Indonesia untuk Rumania dan anggota Dewan Pertimbangan Agung Indonesia.
Setelah kemerdekaan Timor-Leste, Carrascalao mendirikan Partai Sosial Demokrasi, menjadi anggota Parlemen Nasional dan jabatan politik terakhir dia adalah Wakil Perdana Menteri Timor-Leste sebelum Pemilu Timor-Leste 2012.
Kepada wartawan, dia mengatakan bahwa “sejak subuh, militer (ABRI) sudah bersiap di pemakaman Santa Cruz sebelum para demonstan tiba. Ketika para demonstran tiba, seorang Kapten menembakan pistolnya, sebagai perintah untuk menembak para demonstran”.
|
Setelah pembantaian [Photo by Steve Cox] dari itv.com |
Dalam peristiwa itu, ratusan pemuda Timor-Leste tewas dibantai, dan ratusan lainnya, terluka, ditangkap, disiksa dan dihilangkan kemudian.
Beberapa saksi mata seperti Joao Amorin Dias, mantan Staf Analisis Laboratorium Rumah Sakit Militer Wira Husada Lahane-Dili mengutarakan bahwa “tentara mengangkut para pemuda yang terluka ke rumah sakit militer dengan truk militer Hino, tetapi bukan untuk diobati tetapi kemudian dilindas dengan mobil sampai mati”. (Matadalan Semanal, Edisaun 20, 11-17 Novembru 2013).
Lanjut dia, para tentara membunuh para korban luka-luka dengan memberikan pil formalin kepada para korban. Carrascalao sendiri mengiyakan itu: “ ada beberapa dokter Indonesia yang menelepon saya untuk segera mengambil tindakan karena para tentara memaksa para dokter untuk melakukan suntikan dengan air kepada para korban. Di lain pihak, banyak korban luka-luka yang masih hidup, tetapi para tentara memasukan dengan paksa ke dalam mesin pembeku jenazah”.
Zeferina Sarmento dos Santos, adalah salah satu contoh bagaimana seorang gadis yang berlumuran darah ditangkap dan disiksa oleh tentara menuturkan bagaiman kejamnya para tentara menembaki para demonstran dan membunuh para korban luka-luka dengan cara membenturkan kepala para korban ke tembok hingga tak bernyawa. (Matadalan Semanal, Edisaun 20, 11-17 Novembru 2013).
Dan bukan menjadi rahasia lagi bahwa kejadian Santa Cruz sangat mempermalukan Indonesia di mata dunia internasional. karena kekejaman militer,
Indonesia di cap sebagai negara pelangar Hak Asasi Manusia di Timor-Timur sejak invasi 1975. Beberapa Jenderal seperti Pangdam Udayana, Mayor Jenderal Sintong Panjaitan dan Panglima Komando Pelaksana Operasi Brigadir Jenderal Rudolf Warouw diberhentikan.
Ketika ditanya oleh wartawan bahwa siapakah yang menjadi komandan militer dalam pembantaian Santa Cruz, Carrascalao menjawab “ saat itu, militer dibawah komando Brigjen Rudy Warouw, dia orang baik, saya dengar bahwa dia tidak terlibat dalam Masacre Santa Cruz. Ada dua kelompok militer (red-di Timor-Leste), satu kelompok dibawah komando Rudy Warrouw dan yang satu lagi dipimpin oleh Prabowo. Dan Kelompoknya Prabowo lah yang terlibat dalam Masacre Santa Cruz”.
Carrascalao pun mengakui bahwa sebenarnya para tentara sudah mempersiapkan pembantaian itu sehari sebelumnya, walaupun para opsir militer mengatakan kepada publik bahwa penembakan itu disebabkan oleh tertusuknya seorang mayor tentara dalam demostrasi menuju Pemakaman Santa Cruz. Wawancara ini menunjukan kalau Prabowo adalah otak dari beberapa kejahatan militer Indonesia di Timor-Leste.
Fakta ini menunjukan bahwa seorang Prabowo begitu licik, sadis dan biadab karena selain membantai rakyat sipil di Timor-Leste, dia juga berhasil menghancurkan karir militer seorang Jenderal Sintong Panjaitan. Apakah kekejaman dan skenario Prabowo di Timor-Leste juga bagian dari “Perang Bintang” diantara para Jenderal untuk saling menjatuhkan pula?
Bukunya Sintong Panjaitan yang pernah kubaca lima tahun yang lalu di apartemen seorang teman di Kopenhagen-Denmark mengulas bagaimana pandangan dia terhadap Prabowo. Ada temanku pernah bilang kalau bukunya Kiki Syahnakri “Untold History” juga mengulas seperti itu, sayang aku belum membacanya, semoga ada kawan-kawan lain yang sudah pernah membaca bisa ikut menambahkannya di blog ini.
Sebagai penutup, aku hanya ingin mengatakan bahwa beberapa cerita diatas hanyalah secuil dari jutaan cerita penderitaan, darah dan airmata rakyat Timor-Leste yang menjadi korban dari kebiadaban Prabowo dan Jenderal Indonesia lainnya.
Hari ini para penjahat itu masih bercokol di tampuk kekuasaan politik Indonesia, dan tetap dan selalu mencari tempat aman untuk bisa menyalurkan bakat kebiadabannya. Orang Indonesia akan menjadi lahan baru bagi Prabowo untuk menuntaskan hasratnya kembali jika dia berhasil menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Indonesia.
Apakah Prabowo tetap menyangkal keterlibatannya dalam pelanggaran HAM di Timor-Timur? Pemimpin yang tegas dan jujur adalah pemimpin yang mengakui kebenaran, berani mempertanggung-jawabkan tindakannya. Beranikah dia membantah komentar Mario Viegas Carrascalao? Mari menunggu jawaban dia.
Bisa lihat video pembantaian Santa Cruz di youtube :http://videos.sapo.tl/9Kc73ZfszhaJ5LqOZVeu
(Saya bekerja di La'o Hamutuk, sebuah LSM lokal berbasis di Dili yang sudah lebih dari 14 tahun tetap bekerja untuk membawa para Jenderal ABRI yang terlibat dalam pelangaran HAM di TImor-Leste untuk diadili di Pengadilan Internasional, www.laohamutuk.org, +670 7734-8703)