Kamis, 27 Maret 2014

Indonesia, “Jenderal tercela” itu tidak akan mengembalikan kejayaanmu lagi


Dili, 27 Maret 2014


Penyiksaan ABRI terhadap pemuda Timor-Leste
Beberapa waktu yang lalu, aku mampir ke Jakarta, sebuah Ibu Kota negara yang sejak 15 tahun lalu tidak lagi menjadi jawaban untuk pertanyaan “Ibukota Negara kita adalah?” di pelajaran geografi ataupun sejarah di sekolah-sekolah di Timor-Leste, mumpung kita sudah merdeka.

Sejak tiba di bandara Soetta, aku naik taxi ke hotelku di sekitaran JL. Wahid Hasyim. Karena lumayan jauh, aku pun berbincang-bincang dengan sopir di sebelahku dengan pertanyaan-pertanyaan basa-basiku, “udah lama nyopir yach?, “asal mana? Hingga pertanyaan yang mengarah ke proses Pemilu dan Pilpress 2014, karena di sisi jalan lumayan banyak spanduk dengan foto orang yang lagi meminta rakyat untuk meyoblos mereka.

Sopir yang berasal dari Medan ini mengatakan kepadaku kalau ada beberapa Jenderal hebat yang lagi nyapres sekarang, ada nama Prabowo, Wiranto, Endiarto Sutarto dan Pramono Edhie Wibowo.

Tiga nama pertama itu begitu bersahabat dengan kupingnya orang Timor-Leste selama 24 tahun pendudukan berdarah militer Indonesia ke Timor-Leste sejak 1975, mungkin nama ke empat juga pernah ada di Dili, yach biasa, para jenderal hebat biasanya terkenal setelah melakukan pekerjaan-pekerjaan tercela, seperti membunuh petani miskin, membunuh balita, membunuh ibu hamil, memperkosa anak gadis dan istri orang, bahkan menjadikan perempuan-perempuan lemah menjadi obyek pemuas nafsu seksnya atau bagi anak buahnya di daerah operasi militer, kalau bukan di Dili, pasti di Papua atau Aceh.

Aku tanya pada sopir, siapa sih jenderal yang akan dipilih olehnya di Pilpres nanti? “bingung bos” jawabnya, ku tanya kenapa? “maunya sih sama si kurus Jokowi itu (saat itu Jokowi belum mendeklarasikan pencapresannya), tapi enak juga kalau Prabowo menang, soalnya dia ingin mengembalikan kejayaan Indonesia dulu, mau mengembalikan macan Asia yang sudah lama tertidur” katanya.

Aku terdiam dan cuma berpikir “kok bisa yach?, mana mungkin Jenderal yang pernah melakukan pekerjaan tercela di dunia ini bisa mengembalikan kejayaan Indonesia dulu, aku pikir mungkin dia ingin mengembalikan kekejamannya dulu”. Prabowo adalah salah satu jenderal yang disangkakan oleh PBB sebagai pelaku kejahatan perang, dan bagaimana seorang penjahat bisa mengembalikan kejayaan Indonesia? Dan apakah rakyat Indonesia rela di pimpin oleh seorang penjahat? Jawabannya hanya ada ditangan rakyat Indonesia.

Benar sekali kalau Prabowo adalah figur dengan karakter militeristik yang masih sangat kental hingga saat ini. Lantas otakku langsung mengingat kembali apa yang dulu terjadi di Timor-Leste ketika ABRI masih bercokol di sini.

Tutuala nama desaku, termasuk yang terisolir, lebih dari 200 kilometer dari Dili, desa paling timur, di atas gunung dengan di kelilingi hutan lebat, dan tidak banyak informasi yang bisa diketahui oleh penduduk di sana, tetapi nama Prabowo dengan Kopasandhanya yang berbaret merah sangat diketahui oleh semua orang. Setahuku Prabowo tidak pernah disana, tetapi Kopasandhanya memang disana, ada banyak monumen kecil dan gambar baret merah dengan sangkur di mana-mana, di toilet, batu di kali, hingga gerbang masuk ke desaku. Sekarang banyak yang sudah hilang, terhapus atau dihancurkan.

Lantas kenapa orang banyak mengenal dia? Aku pernah bertanya itu kepada beberapa orang tua di kampungku. Kata mereka, selain sebagai menantu Presiden Soeharto, Prabowo terkenal dengan kekejaman Kopasandhanya di Timor-Leste. Markas Prabowo ternyata di Lospalos, cuma 40 km dari desaku, pada tahun 1983 dia mendirikan sebuah pasukan paramiliter Tim-Alfa yang rata-rata orang lokal dan mantan pasukan Falintil yang telah menyerah dan turun gunung, beberapa dari mereka dipaksa untuk masuk dan akan dibunuh jika menolak.

Tim Alfa adalah nama paramiliter binaan Nangala-Kopassandha/Kopassus dan hanya berbasis di kabupaten Lautem. Tim Alfa dan Nangala sangat terkenal dengan kekejamannya di kabupaten ini sejak 1983 hingga 1999, dan menjadi eksekutor sekaligus menjadi tim yang menutupi keberingisan Kopassandha-Kopassus secara langsung di kabupaten Lautem. Dan mungkin yang masih segar diotak kita adalah ketika Tim Alfa terlibat membantai para suster dan frater katholik, termasuk seorang wartawan asal Indonesia Agus Mulyawan pada 1999 di Lautem.

Hinga saat ini, Prabowo masih bersikukuh bahwa dia tidak terlibat pada pelangaran HAM di Timor-Leste ketika dia bersama Kopassandhanya di Timor-Leste, tetapi Laporan Chega! mengulas bagaimana keterlibatan Kopassandha-Nangala dalam penangkapan, penyiksaan dan penghilangan masyarakat sipil lebih-lebih di daerah Iliomar (wilayah selatan kabupaten Lautem, 50 km dari pos militer dia bertugas) dan Mehara (wilayah timur kabupaten Lautem, 30 km dari pos militer dia bertugas).

Mungkin juga kawan-kawan di Jakarta bisa bertanya ke Prabowo apa yang dia lakukan di sekitar bulan Agustus hingga Desember 1983 ketika anggota Nangala-Kopassandha menangkap dan membunuh orang di Iliomar dan Mehara yang cuma berjarak sekitar 30-50 km dari pos militer di mana dia bertugas. Dan sangat tidak mungkin jika disaat seperti itu dia cuma tidur dan membaca buku di markasnya, sedangkan seluruh anggota Kopassandha grup 1,2,3, dan 4 sedang menginterogasi rakyat sipil, melecehkan istri dan anak gadis orang.

Sekitar tahun 2000, ada seorang temanku yang berasal dari Iliomar, pernah bercerita kepada saya bagaimana Prabowo dan pasukannya terlibat pertempuran dengan pasukan Falintil di bawah pimpinan Lere Anan Timor (sekarang Panglima Falintil-FDTL), aku tidak tahu apa cerita itu benar atau tidak, tetapi jika cerita temanku ini benar, maka sudah pasti Prabowo terlibat langsung dalam kasus penyiksaan dan pembunuhan orang di Iliomar.

Selain bertugas di kabupaten Lautem, banyak informasi yang mengatakan kalau Prabowo juga terlibat pada penangkapan dan pembantaian di Kraras, sebuah kampung di Kabupaten Viqueque dimana pasukannya Prabowo membalas aksi anggota Hansip (Pertahanan Sipil) dan Ratih (Rakyat Terlatih) yang menyerang sebuah pos militer yang menewaskan selusin anggota TNI.

Dalam Laporan Chega! Dikatakan bahwa sekitar 120 anggota pasukan khusus chandraca-Kopassandha memasuki wilayah Kabupaten Viqueque dan langsung terlibat dalam pembantaian besar-besar yang hingga akhirnya Kraras disebut sebagai “Desa Janda” karena hampir semua laki-laki di bantai secara biadab oleh militer Indonesia. Untuk info: Iliomar di Kabupaten Lautem berbatasan langsung dengan kabupaten Viqueque.

Kembali ke isu Pilpres Indonesia, dua hari yang lalu, ada kunjungan dari beberapa pelajar Jakarta International School ke kantorku, dan seorang temanku lagi menjelaskan pentingnya sebuah keadilan bagi rakyat Timor-Leste, dan usaha organisasi kami dalam mengadvokasi agar para penjahat perang yang telah di jadikan sebagai tersangka oleh Unit Kejahatan Berat dan Panel Khusus PBB agar segera dibawah ke pengadilan internasional untuk di adili. Seperti Prabowo, Wiranto, Endiarto Sutarto dan beberapa jenderal lainnya.

Dan tiba-tiba salah satu pelajar itu bertanya kepada temanku, apa dampaknya bagi Timor-Leste jika Prabowo terpilih menjadi Presiden RI, temanku meminta aku untuk menjawabnya.

Aku tidak tahu harus bagaimana menjawabnya, tetapi berusaha menjelaskan kepadanya bahwa jika “jenderal tercela” itu menjadi Presiden RI, keadilan bagi para korban kejahatan HAM di Timor-Leste akan semakin sulit di dapat, tetapi ada hal yang sangat penting bagi rakyat Indonesia bahwa akan terjadi kemunduran besar bagi proses demokrasi di Indonesia yang hingga sampai saat ini masih diperjuangkan oleh rakyat Indonesia sendiri, pelanggaran HAM akan tetap berlanjut di Papua bahkan pelanggaran HAM baru akan terjadi dibeberapa wilayah indonesia lainnya, mengingat Prabowo sangat terlatih dan ahli dalam hal melanggar HAM, dan akan menjadi preseden bagi prajurit Indonesia lainnya bahwa melanggar HAM adalah sesuatu yang bukan sebuah kesalahan.

(Juvinal Dias, Bekerja di La’o Hamutuk, Timor-Leste Institute for Development Monitoring and Analysis di Dili, website www.laohamutuk.org)